1. Menyebut nama Rasulullah saw. dengan awalan kata sayyidina atau maulana
Sebagian orang membid’ahkan panggilan Sayyidinaa atau Maulana
didepan nama Muhammad Rasulullah saw., dengan alasan bahwa Rasulullah
saw. sendiri yang menganjurkan kepada kita tanpa mengagung-agungkan
dimuka nama beliau saw. Memang golongan ini mudah sekali membid’ahkan
sesuatu amalan tanpa melihat motif makna yang dimaksud Bid’ah itu apa.
Mari kita rujuk ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulullah saw. yang
berkaitan dengan kata-kata sayyid.
Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj dalam risalahnya yang berjudul panjang yaitu Dala’ilul-Mahabbah Wa Ta’dzimul-Maqam Fis-Shalati Was-Salam ‘AN Sayyidil-Anam dengan tegas mengatakan: Menyebut nama Rasulullah saw. dengan tambahan kata Sayyidina (junjungan kita) didepannya merupakan suatu keharusan
bagi setiap muslim yang mencintai beliau saw. Sebab kata tersebut
menunjukkan kemuliaan martabat dan ketinggian kedudukan beliau. Allah
SWT.memerintahkan ummat Islam supaya menjunjung tinggi martabat
Rasulullah saw., menghormati dan memuliakan beliau, bahkan melarang kita
memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara sebagaimana kita
menyebut nama orang diantara sesama kita. Larangan tersebut tidak
berarti lain kecuali untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan Rasulullah
saw. Allah SWT.berfirman :
“Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang diantara kalian”. (QS.An-Nur : 63).
Dalam tafsirnya mengenai ayat diatas ini Ash-Shawi
mengatakan: Makna ayat itu ialah janganlah kalian memanggil atau
menyebut nama Rasulullah saw. cukup dengan nama beliau saja, seperti Hai
Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim.
Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan penuh hormat,
dengan menyebut kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang dimaksud
oleh ayat tersebut diatas. Jadi, tidak patut bagi kita menyebut nama
beliau saw.tanpa menunjukkan penghormatan dan pemuliaan kita kepada
beliau saw., baik dikala beliau masih hidup didunia maupun setelah
beliau kembali keharibaan Allah SWT. Yang sudah jelas ialah bahwa orang
yang tidak mengindahkan ayat tersebut berarti tidak mengindahkan
larangan Allah dalam Al-Qur’an. Sikap demikian bukanlah sikap orang
beriman.
Menurut Ibnu Jarir,
dalam menafsirkan ayat tersebut Qatadah mengatakan : Dengan ayat itu
(An-Nur:63) Allah memerintahkan ummat Islam supaya memuliakan dan
mengagungkan Rasulullah saw.
Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil Imam
Suyuthi mengatakan: Dengan turunnya ayat tersebut Allah melarang ummat
Islam menyebut beliau saw. atau memanggil beliau hanya dengan namanya,
tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya Rasulullah atau Ya
Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah wafat.
Dalam kitab Fathul-Bari
syarh Shahihil Bukhori juga terdapat penegasan seperti tersebut diatas,
dengan tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra.
yang diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat tersebut turun
kaum Muslimin memanggil Rasulullah saw. hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai Abul-Qasim
dan lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah SWT. melarang
mereka menyebut atau memanggil Rasulullah saw. dengan ucapan-ucapan
tadi. Mereka kemudian menggantinya dengan kata-kata : Ya Rasulallah, dan Ya Nabiyallah.
Hampir
seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai
pendapat yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya melarang orang menggunakan sebutan atau panggilan sebagaimana yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut diatas turun.
Didalam
Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan makna tersebut
diatas. Antara lain firman Allah SWT. dalam surat Al-A’raf : 157 ;
Al-Fath : 8-9, Al-Insyirah : 4 dan lain sebagainya. Dalam ayat-ayat ini
Allah SWT. memuji kaum muslimin yang bersikap hormat dan memuliakan
Rasulullah saw., bahkan menyebut mereka sebagai orang-orang yang
beruntung. Juga firman Allah SWT. mengajarkan kepada kita tatakrama yang
mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut Rasul-Nya
dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan kalimat Hai Rasul atau Hai Nabi.
Firman-firman
Allah SWT. tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah
SWT. mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak
disebut sayyidina atau junjungan kita Muhammad Rasulullah saw.
Menyebut nama beliau saw. tanpa diawali dengan kata yang menunjuk- kan
penghormatan, seperti sayyidina tidak sesuai dengan pengagungan yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau.
Dalam surat Aali-‘Imran:39 Allah SWT. menyebut Nabi Yahya as. dengan predikat sayyid :
“…Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan kelahiran seorang puteramu, Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang dari) Allah, seorang sayyid (terkemuka, panutan), (sanggup) menahan diri (dari hawa nafsu) dan Nabi dari keturunan orang-orang sholeh”.
Para penghuni neraka pun menyebut orang-orang yang menjerumuskan mereka dengan istilah saadat (jamak dari kata sayyid), yang berarti para pemimpin. Penyesalan mereka dilukiskan Allah SWT.dalam firman-Nya :
“Dan mereka (penghuni neraka) berkata : ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin (sadatanaa) dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar”. (S.Al-Ahzab:67).
Juga seorang suami dapat disebut dengan kata sayyid, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah SWT. dalam surat Yusuf : 25 :
“Wanita itu menarik qamis (baju) Yusuf dari belakang hingga koyak, kemudian kedua-duanya memergoki sayyid (suami) wanita itu didepan pintu”. Dalam kisah ini yang dimaksud suami ialah raja Mesir.
Demikian juga kata Maula yang
berarti pengasuh, penguasa, penolong dan lain sebagainya. Banyak
terdapat didalam Al-Qur’anul-Karim kata-kata ini, antara lain dalam
surat Ad-Dukhan: 41 Allah berfirman :
“…Hari (kiamat) dimana seorang maula (pelindung) tidak dapat memberi manfaat apa pun kepada maula (yang dilindunginya) dan mereka tidak akan tertolong”.
Juga dalam firman Allah SWT. dalam Al-Maidah : 55 disebutkan juga kalimat Maula untuk Allah SWT., Rasul dan orang yang beriman.
Jadi
kalau kata sayyid itu dapat digunakan untuk menyebut Nabi Yahya putera
Zakariya, dapat digunakan untuk menyebut raja Mesir, bahkan dapat juga
digunakan untuk menyebut pemimpin yang semuanya itu menunjuk kan kedudukan seseorangalasan apa yang dapat digunakan untuk menolak sebutan sayyid bagi junjungan kita Nabi Muhammad saw.
Demikian pula soal penggunaan kata maula . Apakah bid’ah jika seorang menyebut nama seorang Nabi yang diimani dan dicintainya dengan awalan sayyidina atau maulana ?!
Mengapa
orang yang menyebut nama seorang pejabat tinggi pemerintahan, kepada
para president, para raja atau menteri, atau kepada diri seseorang
dengan awalan ‘Yang Mulia’ tidak dituduh berbuat bid’ah? Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan, bahwa sikap menolak penggunaan kata sayyid atau maula untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah saw. itu sesungguhnya dari pikiran meremehkan kedudukan dan martabat beliau saw. Atau sekurang-kurang hendak menyamakan kedudukan dan martabat beliau saw. dengan manusia awam/biasa.
Sebagaimana
kita ketahui, dewasa ini masih banyak orang yang menyebut nama
Rasulullah saw. tanpa diawali dengan kata sayyidina dan tanpa
dilanjutkan dengan kalimat sallahu ‘alaihi wasallam (saw.). Menyebut
nama Rasulullah dengan cara demikian menunjukkan sikap tak kenal hormat
pada diri orang yang bersangkutan. Cara demikian itu lazim dilakukan
oleh orang-orang diluar Islam, seperti kaum orientalis barat dan lain
sebagainya. Sikap kaum orientalis ini tidak boleh kita tiru.
Banyak hadits-hadits shohih yang menggunakan kata sayyid, beberapa diantaranya ialah :
“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya (rumah tangga nya)”. (HR Bukhori dan Adz-Dzahabi).
Jadi
kalau setiap anak Adam saja dapat disebut sayyid, apakah anak Adam yang
paling tinggi martabatnya dan paling mulia kedudukannya disisi Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhammad saw. tidak boleh disebut sayyid ?
Didalam
shohih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw.
memberitahu para sahabatnya, bahwa pada hari kiamat kelak Allah SWT.
akan menggugat hamba-hambaNya : “Bukankah engkau telah Ku-muliakan dan Ku-jadikan sayyid ?” (alam ukrimuka wa usaw.widuka?)
Makna
hadits itu ialah, bahwa Allah SWT. telah memberikan kemuliaan dan
kedudukan tinggi kepada setiap manusia. Kalau setiap manusia dikarunia
kemuliaan dan kedudukan tinggi, apakah manusia pilihan Allah yang diutus
sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi
kedudukan dan martabatnya daripada manusia lainnya ? Kalau
manusia-manusia biasa saja dapat disebut sayyid , mengapa Rasulullah saw. tidak boleh disebut sayyid atau maula ?
Dalil-dalil orang yang membantah dan jawabannya
– Ada sementara orang terkelabui oleh pengarang hadits palsu yang berbunyi: “Laa tusayyiduunii fis-shalah”
artinya “Jangan menyebutku (Nabi Muhammad saw.) sayyid didalam sholat”.
Tampaknya pengarang hadits palsu yang mengatas namakan Rasulullah saw.
untuk mempertahankan pendiriannya itu lupa atau memang tidak mengerti bahwa didalam bahasa Arab tidak pernah terdapat kata kerja tusayyidu. Tidak ada kemungkinan sama sekali Rasulullah saw.mengucapkan kata-kata dengan bahasa Arab gadungan seperti yang dilukiskan oleh pengarang hadits palsu tersebut. Dilihat dari segi bahasanya saja, hadits itu tampak jelas kepalsuannya. Namun untuk lebih kuat membuktikan kepalsuan hadits tersebut baiklah kami kemukakan beberapa pendapat yang dinyatakan oleh para ulama.
Dalam kitab Al-Hawi ,
atas pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam Jalaluddin As-Suyuthi
menjawab tegas : “Tidak pernah ada (hadits tersebut), itu bathil !”.
Imam Al-Hafidz As-Sakhawi dalam kitab Al-Maqashidul-Al-Hasanah menegaskan : “ Hadits itu tidak karuan sumbernya ! “
Imam
Jalaluddin Al-Muhli, Imam As-Syamsur-Ramli, Imam Ibnu Hajar
Al-Haitsami, Imam Al-Qari, para ahli Fiqih madzhab Sayfi’i dan madzhab
Maliki dan lain-lainnya, semuanya mengatakan : “Hadits itu sama sekali
tidak benar”.
– Selain hadits palsu diatas tersebut, masih ada hadits palsu lainnya yang semakna, yaitu yang berbunyi : “La tu’adzdzimuunii fil-masjid” artinya ; “Jangan mengagungkan aku (Nabi Muhammad saw.) di masjid”.
Dalam kitab Kasyful Khufa Imam Al-Hafidz Al-‘Ajluni dengan tegas mengata- kan: “Itu bathil !”. Demikian pula Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang berjudul Kanzul-‘Ifah menyatakan tentang hadits ini: “Kebohongan yang diada-adakan”.
Memang masuk akal kalau ada orang yang berkata seperti itu yakni jangan mengagungkan aku di masjid kepada para hadirin didalam masjid, sebab ucapannya itu merupakan tawadhu’ (rendah hati). Akan tetapi kalau dikatakan bahwa perkataan tersebut diucapkan oleh Rasulullah saw. atau sebagai hadits beliau saw., jelas hal itu suatu pemalsuan yang terlampau berani.
Mari kita lanjutkan tentang hadits-hadits yang menggunakan kata sayyid berikut ini:
– Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dalam Shohihnya bahwa Rasulullah saw.bersabda : “Aku sayyid anak Adam…”
. Jelaslah bahwa kata sayyid dalam hal ini berarti pemimpin ummat,
orang yang paling terhormat dan paling mulia dan paling sempurna dalam
segala hal sehingga dapat menjadi panutan serta teladan bagi ummat yang
dipimpinnya.
Ibnu ‘Abbas ra mengatakan, bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut ialah orang yang paling mulia disisi Allah. Qatadah ra. mengatakan, bahwa Rasulullah saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan At-Turmudzi, Rasulullah saw. bersabda :
“Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat”.
Surmber riwayat lain yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal,
Imam Bukhori dan Imam Muslim, mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Aku sayyid semua manusia pada hari kiamat”.
Hadit tersebut diberi makna oleh Rasulullah saw. sendiri dengan penjelas- annya: ‘Pada hari kiamat, Adam dan para Nabi keturunannya berada dibawah panjiku”.
Sumber riwayat lain mengatakan lebih tegas lagi, yaitu bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Aku sayyid dua alam”.
– Riwayat yang berasal dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum didalam kitab Dala’ilun-Nubuwwah mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda : “Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat mereka dibangkitkan kembali (pada hari kiamat)”.
– Hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Khatib mengatakan, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku Imam kaum muslimin dan sayyid kaum yang bertaqwa”.
– Sebuah hadits yang dengan terang mengisyaratkan keharusan menyebut nama Rasulullah saw. diawali dengan kata sayyidina diketengahkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadits yang mempunyai isnad shohih ini berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai berikut:
“Pada
suatu hari kulihat Rasulullah saw. naik keatas mimbar. Setelah
memanjatkan puji syukur kehadirat Allah saw. beliau bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami menyahut: Rasulullah ! Beliau bertanya lagi: ‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid anak Adam….’.”
Riwayat
hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulullah saw. lebih suka
kalau para sahabatnya menyebut nama beliau dengan kata sayyid. Dengan
kata sayyid itu menunjukkan perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan
para Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan dari semua manusia sejagat.
Semua
hadits tersebut diatas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw.
adalah sayyid anak Adam, sayyid kaum muslimin, sayyid dua alam
(al-‘alamain), sayyid kaum yang bertakwa. Tidak diragukan lagi bahwa
menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah
saw. merupakan suatu yang dianjurkan bagi setiap muslim yang mencintai
beliau saw.
– Demikian pula soal kata Maula, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam Musnad nya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah mengetengahkan sebuah hadits, bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Man kuntu maulahu fa ‘aliyyun maulahu” artinya : “Barangsiapa aku menjadi maula-nya (pemimpinnya). ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah maula-nya…”
– Dari hadits semuanya diatas tersebut kita pun mengetahui dengan jelas bahwa Rasulullah saw. adalah sayyidina dan maulana
(pemimpin kita). Demikian juga para ahlu-baitnya (keluarganya), semua
adalah sayyidina. Al-Bukhori meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah
berkata kepada puteri beliau, Siti Fathimah ra :
“Yaa Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’minin au sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum mu’minin (kaum orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam
shohih Muslim hadits tersebut berbunyi: “Yaa Fathimah amaa tardhiina an
takuunii sayyidata nisaail mu’mininat au sayyidata nisaai hadzihil
ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah mu’mininat (kaum wanitanya orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Rasulullah saw. berkata kepada puterinya (Siti Fathimah ra) :
“Amaa tardhiina an takuunii sayyidata sayyidata nisaa hadzihil ummati au nisaail ‘Alamina” artinya : “…Apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum wanita ummat ini, atau sayyidah kaum wanita sedunia ?”
Demikianlah pula halnya terhadap dua orang cucu Rasulullah saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma. Imam
Bukhori dan At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits yang berisnad shohih
bahwa pada suatu hari Rasulullah saw. bersabda : “Al-Hasanu wal Husainu
sayyida asybaabi ahlil jannati” artinya : “Al-Hasan dan Al-Husain dua orang sayyid pemuda ahli surga”.
Berdasarkan hadits-hadits diatas itu kita menyebut puteri Rasulullah saw. Siti Fathimah Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatuna. Demikianlah pula terhadap dua orang cucu Rasulullah saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.
– Ketika
Sa’ad bin Mu’adz ra. diangkat oleh Rasulullah saw. sebagai penguasa
kaum Yahudi Bani Quraidah (setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum
muslimin), Rasulullah saw. mengutus seorang memanggil Sa’ad supaya
datang menghadap beliau. Sa’ad datang berkendaraan keledai, saat itu
Rasulullah saw. berkata kepada orang-orang yang hadir: “Guumuu ilaa
sayyidikum au ilaa khoirikum” artinya : “Berdirilah menghormati sayyid (pemimpin) kalian, atau orang terbaik diantara kalian”.
Rasulullah saw. menyuruh mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit
sementara fihak menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari keledainya, karena dalam keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu Rasulullah saw. tidak menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad.
Sekalipun
–misalnya– Rasulullah saw. melarang para sahabatnya berdiri
menghormati beliau saw., tetapi beliau sendiri malah memerintahkan
mereka supaya berdiri menghormati Sa’ad bin Mu’adz, apakah artinya ?
Itulah tatakrama Islam. Kita harus dapat memahami apa yang dikehendaki oleh Rasulullah saw. dengan larangan dan perintahnya mengenai
soal yang sama itu. Tidak ada ayah, ibu , kakak dan guru yang secara
terang-terangan minta dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi
si anak, si adik dan si murid harus merasa dirinya wajib
menghormati ayahnya, ibunya, kakaknya dan gurunya. Demikian juga
Rasulullah saw. sekalipun beliau menyadari kedudukan dan martabatnya
yang sedemikian tinggi disisi Allah SWT, beliau tidak menuntut supaya ummatnya memuliakan dan mengagung-agungkan beliau. Akan tetapi kita, ummat Rasulullah saw., harus merasa wajib menghormati, memuliakan dan mengagungkan beliau saw.
Allah SWT. berfirman dalam Al-Ahzab: 6 : “Bagi orang-orang yang beriman, Nabi (Muhammad saw.) lebih utama daripada diri mereka sendiri, dan para isterinya adalah ibu-ibu mereka”.
Ibnu
‘Abbas ra. menyatakan: Beliau adalah ayah mereka’ yakni ayah semua
orang beiman! Ayat suci diatas ini jelas maknanya, tidak memerlukan
penjelasan apa pun juga, bahwa Rasulullah saw. lebih utama dari semua
orang beriman dan para isteri beliau wajib dipandang sebagai ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas ini orang yang menyebut nama beliau dengan tambahan kata awalan sayyidina atau maulana pantas dituduh berbuat bid’ah? Semoga Allah SWT. memberi hidayah kepada kita semua. Amin
–
Ibnu Mas’ud ra. mengatakan kepada orang-orang yang menuntut ilmu
kepadanya: “Apabila kalian mengucapkan shalawat Nabi hendaklah kalian
mengucapkan shalawat dengan sebaik-baiknya. Kalian tidak tahu bahwa
sholawat itu akan disampaikan kepada beliau saw., karena itu ucapkanlah :
‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan Rasulullah) dan Imamul-Muttaqin (Panutan orang-orang bertakwa)”
– Para sahabat Nabi juga menggunakan kata sayyid untuk saling menyebut nama masing-masing, sebagai tanda saling hormat-menghormati dan harga-menghargai. Didalam Al-Mustadrak
Al-Hakim mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad shohih, bahwa “Abu
Hurairah ra. dalam menjawab ucapan salam Al-Hasan bin ‘Ali ra. selalu
mengatakan “Alaikassalam ya sayyidi”. Atas pertanyaan seorang sahabat ia menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulullah saw. menyebutnya (Al-Hasan ra.) sayyid’ “.
– Ibnu ‘Athaillah dalam bukunya Miftahul-Falah mengenai
pembicaraannya soal sholawat Nabi mewanti-wanti pembacanya sebagai
berikut: “Hendak- nya anda berhati-hati jangan sampai meninggalkan
lafadz sayyidina dalam bersholawat, karena didalam lafadz itu
terdapat rahasia yang tampak jelas bagi orang yang selalu
mengamalkannya”. Dan masih banyak lagi wejangan para ulama pakar cara
sebaik-baiknya membaca sholawat pada Rasulullah saw. yang tidak
tercantum disini.
Nah,
kiranya cukuplah sudah uraian diatas mengenai penggunaan kata sayyidina
atau maulana untuk mengawali penyebutan nama Rasulullah saw. Setelah
orang mengetahui banyak hadits Nabi yang menerangkan persoalan itu yakni
menggunakan kata awalan sayyid, apakah masih ada yang
bersikeras tidak mau menggunakan kata sayyidina dalam menyebut nama
beliau saw.?, dan apanya yang salah dalam hal ini ?
Apakah
orang yang demikian itu hendak mengingkari martabat Rasulullah saw.
sebagai Sayyidul-Mursalin (penghulu para Rasulullah) dan Habibu
Rabbil-‘alamin (Kesayangan Allah Rabbul ‘alamin) ?