BENIH FIKRAH PENGKAFIRAN DALAM SEJARAH ISLAM
BENIH FIKRAH PENGKAFIRAN DALAM SEJARAH ISLAM
بسم الله الرحمن الرحيم
Munculnya fenomena melemparkan vonis kafir terhadap seorang muslim
muncul belakangan ini. Fenomena ini telah menimbulkan fitnah di
tengah-tengah umat. Tak sedikit fitnah telah mengakibatkan perpecahan,
saling tuding, dan menimbulkan kekacauan. Bagaimana fitnah ini berawal,
padahal kaum Muslimin merupakan ummat yang satu? Berikut kami paparkan
pemikiran ini, yang diangkat dari kitab Dhawabith fit-Takfir, karya
Syaikh Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili, halaman 3-50. Diringkas oleh Ustadz
Kholid Syamhudi. _______________________________________________
Sungguh Allah telah mengutus Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengajarkan agama Islam ini dan menjelaskan serta membedakan iman dan
kufur. Sehingga rujukan untuk memvonis kafir terhadap individu manusia,
tidak lain dengan berlandaskan nash dari al Qur'an dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena hukum mengkafirkan seseorang,
merupakan hak Allah dan Rasul-Nya. Seseorang tidak boleh berijtihad
dengan akalnya atau menghukum dengan hawa nafsunya. Sebagaimana juga
seseorang tidak boleh menentukan suatu amalan sebagai ketaatan dan
kemaksiatan, atau halal dan haram tanpa dasar nash syari'at.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,"Masalah menentukan kewajiban,
larangan, pahala dan siksa, takfir (vonis kafir atas orang lain) dan
tafsiq (vonis fasiq atas seseorang), sumbernya adalah Allah dan
Rasul-Nya. Tidak boleh seorang memiliki hukum dalam hal ini. Manusia
hanya diwajibkan untuk mewajibkan yang telah diwajibkan Allah dan
Rasul-Nya, dan mengharamkan yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya."[1]
Demikianlah keadaan generasi pertama umat ini, mereka memahami dan
mengamalkan Islam sesuai ajaran Rasul-Nya, sehingga menjadi umat terbaik
dan generasi terbaik umat manusia.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah". [Ali 'Imran/3:110].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku, kemudian yang menyusulnya, kemudian yang menyusulnya". [Muttafaqun-'alaihi].
TAKFIR MERUPAKAN BID'AH PERTAMA YANG MUNCUL DALAM ISLAM Takfir,
merupakan amalan bid'ah pertama dalam Islam. Bid'ah takfir, yaitu
megkafirkan orang lain tanpa dasar ilmu dan tanpa dalil syar'i. Bid'ah
ini, muncul pada akhir masa khulafa'ur-rasyidin. Yaitu ditandai dengan
muculnya sekte Khawarij yang melakukan pemberontakan kepada Khalifah Ali
bin Abi Thalib pada tahun 37 H, yakni setelah peristiwa tahkim [2]
dalam perang Shiffin. Sekte Khawarij ini mengingkari Khalifah Ali dan
mengkafirkan beliau, Abu Musa al Asy'ari, Amru bin al 'Ash dan orang
yang menyetujui tahkim tersebut.
Dalam al Bidayah
wan-Nihayah, Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, ketika Khalifah Ali
Radhiyallahu 'anhu mengutus Abu Musa Radhiyallahu 'anhu dan beberapa
tentaranya ke daerah Daumatul Jandal, maka Khawarij semakin mengganas,
semakin keras penentangannya terhadap Khalifah Ali Radhiyallahu 'anhu,
dan secara jelas mengkafirkan Khalifah.[3]
Pengkafiran
ini telah menjadi konsensus sekte Khawarij, termasuk pula terhadap
'Utsman Radhiyallahu 'anhu, orang-orang yang terlibat dalam perang
Jamal, Abu Musa al Asy'ari, 'Amru bin al Ash Radhiyallahu 'anhuma, orang
yang sepakat dengan tahkim, dan mengkafirkan terhadap orang-orang
membenarkan kedua hakim (dalam tahkim tersebut) atau salah satunya.
Kedua hakim yang dimaksud ialah Abu Musa al Asy'ari, 'Amru bin al Ash
Radhiyallahu 'anhuma. Oleh karena itu, para ulama menganggap bid'ah
takfir tanpa dalil dan dasar syar'i ini menjadi awal perbuatan bid'ah
dalam sejarah kaum Muslimin.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah mengingatkan: "Oleh karena itu, wajib
berhati-hati dari memvonis kafir kaum Muslimin dengan sebab dosa dan
kesalahan, karena itu merupakan bid'ah yang pertama muncul dalam Islam.
Mereka mengkafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan darah dan harta
mereka".[4]
Abul Hasan al Asy'ari berkata: "Firqah
Khawarij telah sepakat mengkafirkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu
'anhu, namun mereka berselisih mengenai kekafiran Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu 'anhu tersebut, syirik atau bukan. Dan Khawarij sepakat
mengatakan bahwa semua dosa besar adalah kufur, kecuali sekte an-Najdat
yang tidak berpendapat demikian".[5]
Kaum Khawarij,
sekembalinya Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu dari perang
Shiffin, mereka memisahkan diri ke daerah Harura, sehingga mereka
dijuluki Haruriyyah. Jumlah mereka waktu itu sebanyak 12.000 orang. Lalu
Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu mengirim Ibnu 'Abbas
Radhiyallahu 'anhu untuk menasihati mereka, yang kemudian terjadi dialog
dan perdebatan dengan mereka, sehingga separuh dari jumlah tersebut
kembali dan bertaubat. Adapun sisanya, mereka bermarkas di Nahrawan dan
membuat kerusakan pada kaum Muslimin, di antaranya membunuh 'Abdullah
bin Khabab bin Irts dan keluarganya.
Setelah itu Khalifah
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu berangkat membawa 4.000
tentaranya untuk memerangi mereka hingga tidak tersisa, kecuali sembilan
orang yang berhasil kabur. Perbuatan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu 'anhu ini merupakan realisasi perintah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk memerangi mereka, sebagaimana
dijelaskan dalam sabda beliau:
يَأْتِي فِي آخِرِ
الزَّمَانِ قَوْمٌ حُدَثَاءُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ
يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ
كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ لَا يُجَاوِزُ إِيمَانُهُمْ
حَنَاجِرَهُمْ فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ
قَتْلَهُمْ أَجْرٌ لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Akan datang pada akhir zaman suatu kaum yang masih muda, bodoh, suka
bermimpi. Mereka menyampaikan dari sebaik-baik perkataan manusia. Mereka
keluar dari Islam sebagaimana anak panah keluar dari tempat sasarannya
(target). Iman mereka tidak melewati tenggorokannya. Dimana saja kalian
mendapati mereka, maka bunuhlah, karena membunuh mereka adalah pahala
pada hari Kiamat bagi yang membunuhnya". [Muttafaqun a'laihi].
MELUASNYA BID'AH TAKFIR Awalnya, memang yang memulai menampakan bid'ah
takfir ini dalam Islam adalah sekte Khawarij. Akan tetapi, bid'ah
takfir ini tidak hanya terbatas pada diri mereka. Ada sekte lain yang
juga mengusung bid'ah takfir ini. Yaitu kaum Syi'ah Rafidhah. Mereka
telah mengkafirkan generasi terbaik umat ini dan berkeyakinan semua
sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bebuat murtad, kecuali
beberapa orang saja, di antaranya, Khalifah Ali bin Abi Thalib, al
Miqdad bin al Aswad, Salman al Farisi dan Abu Dzar al Ghifari.
Disebutkan dalam kitab miliki mereka, yaitu al Kafi, yang dianggap
kitab paling shahih versi mereka, dari Abu Ja'far, ia berkata: "Seluruh
manusia (Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ) murtad setelah
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, kecuali tiga orang," aku
bertanya: "Siapakah tiga orang tersebut?" Ia menjawab: "Al Miqdad bin al
Aswad, Abu Dzar al Ghifari dan Salman al Farisi"[7].
Lebih tegas lagi, salah seorang tokoh besar Syi'ah Rafidhah yang bernama
al Mufid, ia menukil konsensus Syi'ah Rafidhah dalam mengkafirkan para
sahabat dengaan pernyataannya: "Imamiyah, az-Zaidiyah dan Khawarij
sepakat menyatakan, bahwa semua (sahabat) dari ahli (penduduk) Bashrah
dan Syam adalah kafir, sesat dan terlaknat karena memerangi Amirul
Mu'minin (Ali), dan dengan sebab itu, mereka kekal di neraka"[8].
Syi'ah Rafidhah adalah orang yang paling sembrono dalam masalah
pengkafiran ini. Yaitu mengkafirkan semua orang yang menyelisihi mereka.
Sehingga tanpa sungkan-sungkan Syi'ah Rafidhah mengkafirkan hampir
seluruh sahabat, tabi'in, dan para ulama Islam.
Ibnu
Taimiyyah berkata: "Rafidhah mengkafirkan Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman,
secara umum kaum Muhajirin dan Anshar, serta orang yang mengikuti mereka
dengan baik, yang Allah telah meridhai mereka dan mereka ridha kepada
Allah. Syi'ah Rafidhah mengkafirkan mayoritas umat Muhammad
(mutaqaddimin maupun mutaakhirin). Syi'ah Rafidhah mengkafirkan seluruh
orang yang meyakini kebaikan dan keutamaan Abu Bakar, 'Umar, kaum
Muhajirin dan Anshar, atau meridhai mereka, sebagaimana Allah telah
meridhai mereka, atau memohonkan ampunan kepada mereka sebagaimana Allah
telah memerintahkan. Oleh karena itu, mereka mengkafirkan para ulama
besar umat ini, seperti Sa'id bin al Musayyib, Abu Muslim al Khaulani,
Uwais al Qarni, 'Atha bin Abi Rabah dan Ibrahim an-Nakha`i. Juga Malik,
al Auza'i, Abu Hanifah, Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, ats-Tsauri,
asy-Syafi'i, Ahmad bin Hambal, Fudhail bin 'Iyadh, Sulaiman ad-Darani,
Ma'ruf al Kurkhi, al Junaid bin Muhammad, Sahl bin 'Abdillah at-Tusturi
dan sebagainya. Syai'ah Rafidhah juga berpendapat, bahwa kekufuran
mereka lebih besar daripada kekufuran Yahudi dan Nashrani, sebab mereka
(Yahudi dan Nashrani) menurut mereka adalah kufur asli, sedangkan kaum
Kuslimin murtad. Dan berdasarkan ijma', kufur murtad lebih berat dari
kufur asli"[9].
Bid'ah takfir ini juga menghinggapi sekte
Qadariyah Mu'tazilah yang muncul pada akhir masa sahabat. Sehingga,
para sahabat yang tersisa, juga telah membantah dan berlepas diri dari
mereka dan bid'ah yang ada pada sekte Qadariyah Mu'tazilah ini. Hal ini
terjadi ketika orang-orang berbicara tentang hukum bagi pelaku dosa
besar, yaitu setelah Khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar. Kemudian
Qadariyah Mu'tazilah pun ikut berbicara dalam permasalahan ini, sehingga
mereka sepemahaman dengan Khawarij dalam masalah hukum pelaku dosa
besar, dan menyelisihi mereka hanya dalam nama.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memberikan penjelasan tentang
Qadariyah Mu'tazilah ini dengan mengatakan: "Kemudian pada akhir masa
sahabat, muncul bid'ah Qadariyah. Dan asal bid'ah mereka ini muncul dari
ketidak mampuan akal mereka dalam masalah iman kepada takdir dan
beriman kepada perintah dan larangan Allah".
Lanjutnya,
beliau rahimahullah menjelaskan: "Dahulu, Khawarij telah berbicara
tentang pengkafiran para pelaku dosa besar dari kaum Muslimin dan
mengatakan,'Sesungguhnya mereka itu telah kafir dan kekal di neraka,'
lalu banyak orang membicarakan hal tersebut dan Qadariyah pun ikut larut
dalam pembahasan tersebut setelah meninggalnya al Hasan al Basri. 'Amru
bin Ubaid dan pengikutnya mengatakan, para pelaku dosa besar itu bukan
muslim dan tidak kafir; mereka berada di antara dua kedudukan (manzilah
bainal manzilatain), namun mereka kekal di neraka".
Sekte
Qadariyah ini sama dengan Khawarij dalam menghukumi pelaku dosa besar.
Bahwa pelaku dosa besar kekal di neraka dan tidak memiliki Islam dan
iman sedikitpun, namun Qadariyah tidak menamakan mereka kafir. Fikrah
takfir tanpa dasar dan dalil ini tidak terbatas menimpa Khawarij,
Rafidhah dan Qadariyah Mu'tazilah saja, tetapi juga menghinggapi firqah
lainnya, seperti Jahmiyah, Mumatsilah dan kelompok sempalan lainnya,
sehingga menjadi ciri khas yang tampak pada mayoritas ahlil bid'ah.
Dikatakan oleh Abdul-Qahir al Baghdadi: "Tidaklah ada satu kelompok
sempalan yang menyelisihi (Islam), kecuali (pada diri mereka) terdapat
sikap saling mengkafirkan di antara mereka dan saling berlepas diri,
seperti halnya Khawarij, Rafidhah dan al Qadariyah, hingga berkumpul
tujuh orang dari mereka dalam satu majlis, lalu berpisah dalam keadaan
saling mengkafirkan di antara mereka"[11].
Adapun menurut
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, beliau berkata: "Kebanyakan
ahli bid'ah, seperti Khawarij, Rafidhah, al Qadariyah, al Jahmiyah dan
al Mumatsilah; mereka memiliki keyakinan yang sebenarnya sesat, namun
mereka lihat sebagai kebenaran, dan menganggap kufur terhadap orang yang
menyelisihi mereka dalam i'tikad tersebut"[12].
Ibnu
Taimiyah menambahkan: "Termasuk karekteristik ahlul bid'ah, yaitu mereka
mengada-adakan doktrin yang dijadikan sebagai kewajiban agama, bahkan
menjadikannya sebagai standar minimal keimanan dan mengkafirkan orang
yang menyelisihi mereka dalam masalah tersebut, serta menghalalkan
darahnya, seperti perbuatan Khawarij, al Jahmiyah, Rafidhah, al
Mu'tazilah dan selainnya. Sedangkan Ahlus Sunnah, mereka tidak pernah
mengada-adakan satu doktrin pun, dan tidak mengkafirkan orang yang
berijtihad lalu salah, walaupun orang itu menyelisihi mereka; (Ahlus
Sunnah tidak) mengkafirkan dan menghalalkan darah mereka, sebagaimana
para sahabat tidak mengkafirkan Khawarij, walaupun Khawarij mengkafirkan
'Utsman, 'Ali dan orang-orang yang mendukung keduanya' dan menghalalkan
darah kaum Muslimin"[13] . Untuk itulah Ibnu 'Abil 'Izz menjelaskan,
di antara aib ahli bid'ah ialah, mereka saling mengkafirkan. Sedangkan
keistimewaan Ahlul 'Ilmi ialah, mereka menyalahkan dan tidak
mengkafirkan[14].
Demikianlah takfir tanpa dasar syar'i
ini mewabah pada mayoritas ahli bid'ah sejak dahulu sampai sekarang.
Yang pada zaman kini pemikiran takfir seperti ini sudah berkembang di
masyarakat dan di tengah-tengah kaum Muslimin. Sehingga akibat buruk
dari pengkafiran ini telah dirasakan. Maka diperlukan upaya mendesak
adanya penjelasan dan pencerahan kepada masyarakat, agar bahaya
pemikiran takfir (mengkafirkan) ini tidak semakin besar menimpa kaum
Muslimin. Mudah-mudahan Allah menunjukkan kita kepada jalan yang lurus.
Wallahul-Musta'an.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
03//Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016] _______ Footnote [1]. Majmu' Fatawa (5/544) Penerbit
Mujamma' Malik Fahd lit Thiba'ah Al Mush-haf Asy-Syarif [2]. Perdamaian
dengan cara masing-masing mengutus hakim untuk menyelesaikan
perselisihan. Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu mengutus
Abu Musa al Asy'ari, Muawiyyah mengutus 'Amr bin Ash Radhiyallahu 'anhum
[3]. Al Bidayah wan-Nihayah (10/577). [4]. Majmu' Fatawa (13/31). [5].
Maqalat Islamiyyin (1/167). [6]. Kitab al Kafi, adalah kitab rujukan
induk pertama Syi'ah Rafidhah. Mereka menganggapnya setara dengan kitab
Shahih al Bukhari menurut Ahlus Sunnah. [7]. Ar-Raudhah minal-Kafi
(8/245-246). [8]. Awa'il al Maqalat, halaman 45. [9]. Majmu' Fatawa
(28/477-478). [10]. Majmu' Fatawa (13/36-37). [11]. Al Farqu Bainal
Firaq, halaman 361. [12]. Majmu' Fatawa (12/466-467). [13].
Minhajus-Sunnah (5/95). [14]. Syarah 'Aqidah ath-Thahawiyah, halaman
439.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar